Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Agil Siraj mengatakan, NU mendukung kemajemukan atau pluralitas dalam kehidupan beragama. Namun, negara harus tetap berupaya menciptakan masyarakat yang berketuhanan Yang Maha Esa atau bertauhid.
"Pelarangan terhadap keyakinan akan melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia secara universal. Namun, negara sebagai bentuk kontrak sosial harus tetap berupaya untuk menciptakan masyarakat yang berketuhanan Yang Maha Esa," kata dia dalam acara Halal Bihalal dan Silaturahmi Kyai di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh Rembang, Minggu (19/9/2010).
Dia mengungkapkan, saat ini negara sedang dihadapkan pada persoalan kebebasan beragama. Keberadaan aliran dan agama lokal, selain lima agama resmi, kata dia, mulai mengkritik secara intensif konstitusi dan kebijakan tentang kebebasan beragama.
"Selain lima agama resmi, berkembang 19 agama ’lokal’ di Indonesia yang sebagian di antaranya menuntut negara mengakui secara resmi keberadaan mereka. Di sinilah saatnya negara berperan sebagai kontrak sosial, menyikapi persoalan ini dengan cermat," katanya didampingi Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Ali Said.
Dia mengatakan, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia tidak mau mencampuradukkan urusan keyakinan dan urusan kemasyarakatan. "Hanya, dalam hal ini, NU mendapatkan amanah dari Pemerintah Republik Indonesia untuk berperan dalam lima hal, yakni deradikalisasi, teknologi, ketahanan pangan, jembatan peradaban, dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," katanya.
Dengan demikian, kata dia, NU akan menggunakan prinsip-prinsip persuasif dalam menyikapi maraknya aliran-aliran agama, terutama aliran sesat yang berkembang di Indonesia. Disebutkan, selain lima agama resmi (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha), 19 agama tidak resmi juga berkembang di Indonesia, di antaranya Baha’i, Kristen Ortodoks, dan Konfusianisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar