loading...

Inilah Tabloid Suara Islam Yang Menyoal Apartemen 2 Miliar Syafii Maarif

Tersiarnya kabar bahwa Prof Dr Ahmad Syafii Maarif menerima aparteman senilai 2 miliar dari Aburizal Bakrie, mengundang seribu satu tanda tanya, terutama di kalangan wartawan. Terpanggil untuk melakukan tabayyun, tabloid Suara Islam berusaha mewawancarai Syafii Maarif. Namun dengan nada kurang bersahabat, tokoh pluralisme ini enggan berkomentar dan tak mau diwawancara.
 
Karena narasumber bungkam menolak diklarifikasi, maka Suara Islam tak bisa mengorek keterangan apapun mengenai ‘misteri’ apartemen 2 miliar itu. Tak kehabisan akal, pertanyaan yang sudah disiapkan untuk Syafii pun dipublikasikan di edisi 101, dengan sebuah kalimat kritis: “Syafii Maarif bungkam tidak kritis lagi setelah menerima apartemen mewah senilai 2 miliar dari Aburizal Bakrie?” (Tabloid Suara Islam edisi 101 tanggal 19 November - 3 Desember 2010, halaman 13).
Dalam uraiannya soal misteri apartemen 2 miliar itu, Suara Islam menceritakan bahwa redaksi mendapat kabar dari seorang sumber yang dirahasiakan identitasnya, bahwa Syafii Maarif bungkam tidak kritis lagi terhadap tragedi lumpur Lapindo, setelah menerima apartemen mewah senilai 2 miliar dari Aburizal Bakrie. Namun Suara Islam gagal mengkonfirmasi kepada Syafii Maarif lantaran ia menolak diwawancara.
“Menurut sumber Suara Islam Syafii Maarif bungkam tidak kritis lagi setelah menerima apartemen mewah senilai 2 miliar dari Aburizal Bakrie. Ketika Suara Islam mencoba mengkonfirmasi kebenaran hal tersebut, Syafii Maarif menolak memberikan wawancara” (Tabloid Suara Islam edisi 101 tanggal 19 November - 3 Desember 2010, halaman 13, kolom ketiga alinea keempat).
Dua kalimat itulah yang dituding kubu Syafii Maarif sebagai fitnah dan pencemaran nama baik. Inilah kutipan berita tabloid Suara Islam yang menggegerkan itu:
Multi Accident Award
Ada rekayasa terselubung dalam pemberian penghargaan (Award). Syafii Maarif bungkam tidak kritis lagi setelah menerima apartemen mewah senilai 2 miliar dari Aburizal Bakrie?”
Semburan lumpur panas Lapindo meluas hingga menutupi 12 hektar hamparan sawah di wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo Sidoarjo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Rumah, sekolah, tempat ibadah, hingga ladang mata pencaharian warga terkubur oleh kubangan lumpur panas jutaan meter kubik itu.
Semburan lumpur panas yang pada awalnya muncul di areal ladang eksplorasi gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur kini sudah mencapai umur empat tahun sejak 27 Mei 2006. Sayangnya hingga saat ini tidak pernah ada penanganan yang tuntas, baik yang dilakukan oleh Lapindo maupun pemerintah.
Inilah bagian dari rekam jejak terburuk dari sejarah bencana alam yang ada di Indonesia. Pasalnya bencana lumpur lapindo diduga akibat kelalaian pengeboran gas PT Lapindo Brantas milik pengusaha sekaligus politikus Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Bandingkan Lapindo dengan semburan minyak di Teluk Meksiko. Bencana dimulai 20 April 2010. ketika terjadi ledakan di anjungan lepas pantai menelan korban 11 orang tewas, dan 4,9 juta barel minyak tumpah menggenangi laut, namun Gedung Putih berhasil menekan dan meminta tanggungjawab British Petroleum (BP), perusahaan raksasa minyak Inggris yang melakukan pengeboran minyak lepas pantai. BP harus menyetop kebocoranm, membersihkan genangan minyak, memulihkan lingkungan, serta membayar ganti rugi ke seluruh warga Amerika Serikat yang dirugikan.
BP tentu tak menyerah begitu saja. Awalnya perusahaan itu melempar kesalahan pada Transcocean,  perusahaan operator yang disewa BP. Obama tak kurang akal. Ia bujuk Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk menekan BP agar menerima tanggungjawab. Hasilnya? Sejak 15 Juli lalu, minyak yang menyembur dari dasar teluk Meksiko telah berhenti. Walaupun untuk semua bencana ini kantong BP harus robek berpuluh miliar dolllar. Jelas bedanya dengan kasus Lapindo? (Baca SI edisi 100: Lain SBY lain Obama).
Bertubi-tubi bencana kini melanda Indonesia mulai dari banjir bandang Wasior, Tsunami, Mentawai dan Gunung Meletus di Yogyakarta sehingga nyaris hilang dari ingatan kita tentang mereka saudara kita yang menjadi korban kubangan lumpur panas Lapindo.
Multi Accident Award
Lapindo merendam masa depan rakyat Sidoarjo. Masyarakat kehilangan rumah tinggal, harta, sawah, dan lebih-lebih kehilangan harapan. Mereka hidup di tenda-tenda tanpa ada kepastian entah sampai kapan. Yang lebih menyakitkan lagi adalah sikap pemerintah provinsi Jawa Timur yang menganugerahkan penghargaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam kategori zero accident (2010) kepada PT Lapindo Brantas. Lapindo sudah dua kali ini mendapatkan penghargaan K3. Penghargaan pertama diterima pada 2009 lalu.
Banyak kalangan menilai bahwa pemberian penghargaan ini bisa dikatakan aneh, karena selama ini justru penanggulangan lumpur di sekitar semburan Lumpur Sidoarjo, paling sering terjadi kecelakaan, baik  yang menimpa karyawan PT Lapindo Brantas sendiri maupun warga masyarakat. Fakta yang lebih besar lagi, ada sekitar 3.000 lebih kepala keluarga (KK) dengan 13.000 jiwa lebih yang terpaksa terusir dari kawasan semburan lumpur itu, bahkan dua desa di Porong "hilang" yakni Siring dan Renokenongo. Fakta-fakta ekologis itu memastikan adanya pelanggaran HAM berat sesuai UU Nomor 26 Tahun 2006, bahkan Komnas HAM mencatat 18 jenis pelanggaran HAM yang merujuk fakta-fakta ekologis yang ada (Jaringan Advokasi Tambang: 2010).
Penghargaan yang di berikan langsung oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo tersebut tidak lebih dari upaya membendung luapan lumpur PT Lapindo Brantas di media maupun di mata masyarakat. Akan tetapi penghargaan tersebut menimbulkan kontroversi dan semua orang tahu Lapindo tidak zero accident tapi multi-accident.

Award  Membendung Bencana ?
Rekayasa penaggulangan bencana dengan memberikan penghargaan kepada pelaku kasus perusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana alam berkepanjangan adalah modus operandi gaya baru. Peran ini biasanya dilakukan oleh LSM, korporasi, maupun pemerintah setempat. Mereka lebih suka menaggulangi bencana dengan penghargaan (Award) ketimbang langkah nyata/kongkrit menyelesaikan permasalahan.
Lihat saja penghargaan tahunan yang diselenggarakan oleh Freedom Institute atas nama Achmad Bakrie Award. Tradisi pemberian anugerah ini telah dimulai sejak 2003. Penghargaan tahunan itu digagas oleh, antara lain, Ulil Abshar Abdalla tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang gagal menjadi Ketua Umum Pengurus Besar NU, dan kini jadi fungsionaris Partai Demokrat. Ia bersekutu dengan Rizal Mallarangeng, adik Menteri Pemuda dan Olah Raga, Andi Mallarangeng.
Namun pandangan kritis terhadap Bakrie Award mulai muncul sejak 2006. Meski menerima anugerah tersebut, W.S. Rendra dalam pidato penerimaannya dengan keras mengkritik penanganan dan pertanggungjawaban atas nasib ribuan rakyat di Sidoarjo. Pada tahun 2007, ketika kasus Lapindo makin mencuat ke permukaan, Bakrie Award pun kian mendapat sorotan. Apalagi setelah Frans Magnis Suseno yang terpilih sebagai penerima anugerah di Bidang Sosial menolak menerima anugerah tersebut.
Di tengah perseteruan, kontroversi, dan penolakan oleh para sastrawan sampai cendikiawan atas penganugerahaan Bakrie Award, belakangan nama sekelas Ahmad Syafii Maarif seorang cendikiawan sekaligus pendiri Maarif Institute cenderung bungkam. Menurut sumber Suara Islam Syafii Maarif bungkam tidak kritis lagi setelah menerima apartemen mewah senilai 2 miliar dari Aburizal Bakrie. Ketika Suara Islam mencoba mengkonfirmasi kebenaran hal tersebut, Syafii Maarif menolak memberikan wawancara.
Mereka yang menolak menerima Bakrie Award adalah Sitor Situmorang dan Daoed Joesuf (2010), sebelumnya Goenawan Mohammad dan Frans Magnis Suseno mengembalikan Bakrie Award yang pernah mereka terima.
Penghargaan tersebut sejak awal diselenggarakan selalu mendorong orang-orang liberal sebagai mayoritas penerima penghargaan, ini sangat wajar karena sejalan dengan filosofi Freedom Institute yaitu membangun kehidupan dengan pemikiran yang bebas adalah modal sosial.
Sejak pertama kali dilenggarakan 2003 kita bisa melihat nama-nama, pada tahun pertama (2003) Penghargaan Ahmad Bakrie diberikan kepada Sapardi Djoko Damono (bidang kesusastraan) dan kepada Ignas Kleden (bidang sosial-budaya).
Tahun kedua (2004) Penghargaan Achmad Bakrie Award diberikan kepada Goenawan Mohamad (bidang kesusastraan) dan Nurcholish Madjid (bidang sosial-budaya). Achmad Bakrie 2005 diberikan kepada Sartono Kartodirdjo (pemikiran sosial), Budi Darma (kesusastraan) dan Sri Oemijati (bidang Kedokteran). Adapun pemenang tahun 2006 adalah Arief Budiman (pemikiran sosial), Rendra (sastra), dan Iskandar Wahidiyat (kedokteran). Pemenang 2007 adalah Putu Wijaya (sastra), Franz Magnis-Suseno (pemikiran sosial), Sangkot Marzuki (kedokteran), Jorga Ibrahim (sains), dan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi, Subang (teknologi). Pemenang 2008 Taufik Abdullah, Sutardji Calzoum Bachri (sastra), Mulyanto, LT Handoko, PP Kelapa Sawit.
Tahun 2009 Pantur Silaban (sains), Danarto (kesusastraan), Ag Soemantro Hardjojuwono (kedokteran), Warsito (teknologi), dan Sajogyo (pemikiran sosial). Pada 2010 penghargaan diberikan kepada Daniel Murdiyarso (Sains), Daoed Joesoef (Pemikiran Sosial), Sitor Situmorang (Kesusastraan), Sjamsoe'oed Sadjad (Teknologi), dan S. Yati Soenarto (Kedokteran) Ratno Nuryadi (Peneliti Muda).”

sumber : http://www.voa-islam.com/news/indonesia/2010/12/08/12181/inilah-tabloid-suara-islam-yang-menyoal-apartemen-2-miliar-syafii-maarif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar